Berita Terbaru :

Saturday 19 January 2013

Kaos Galgil

Sebagian besar orang mungkin sudah mengenal kaos Joger Bali dan Dagadu Djokdja. Dengan ciri khasnya masing-masing, keberadaan merek-merek tersebut ibarat sudah menjadi identitas bagi daerah masing-masing.
Di Tegal, sejak beberapa tahun terakhir bermunculan produk serupa, yakni kaos Tegalan. Misalnya merek "Umbrus" milik H Tambari, "Jakwir Cetem" milik kakak beradik Erdiansyah Zulyadaini dan M Ersal Aburizal, serta "Galgil" yang lahir dari rembugan sejumlah orang.

Dalam bahasa Indonesia, Umbrus berarti asal berbicara, Jakwir Cetem artinya sahabat karib, dan Galgil hampir mirip dengan pemberani plus sedikit nekat. Umbrus, Jakwir Cetem, dan Galgil, adalah kosakata yang sangat familiar bagi masyarakat Tegal. Tiga kosakata itu bisa dibilang, Tegale por! (Tegal sekali-Red).

Dibalik namanya, kaos Tegalan ternyata bukan hanya sekadar urusan bisnis untung rugi, tapi juga mengandung unsur kampanye budaya Tegal. Itu karena, Tegal dinilai mempunyai karakter yang unik dan berbeda dengan daerah lain.

Penulis terbaik pada kompetisi “Mimpi tentang Tegal“ yang diadakan IDEA Bappeda Kabupaten Tegal dalam rangka HUT Kabupaten Tegal ke-410 beberapa waktu lalu, Akhda Afif Rasyidi, mengatakan, Tegal mempunyai karakteristik yang khas.

Keunikan wong Tegal salah satunya adalah merupakan kaum urban. Mereka yang telah menjadi perantau, dan bahkan pekerja di luar negeri, akan merasakan bahwa Tegal memiliki warna yang sangat berbeda dengan kota lain.

Berbagai warna yang ada di Tegal, dari sisi positif maupun negatifnya, menunjukkan estetika meskipun terkesan subjektif. Hal itu karena semua orang sebenarnya memiliki karakter psikologis dan mental yang berbeda-beda secara genekologis hingga ke struktur masyarakat, ujar lulusan UI 2008 tersebut.

Lebih lanjut, Afif yang kini bekerja sebagai staf di Kementrian Kominfo RI tersebut, menjelaskan, kenapa Tegal dinilai sebagai daerah yang ngangeni lan mbetahi? Jawabannya adalah karena warga Tegal merupakan pelaku migrasi yang sangat luwes.

Meski sukses di negeri orang, mereka akan kangen dengan kampung halaman. Ada semacam kepercayaan pada masyarakat Tegal bahwa merantau adalah salah satu kunci keberhasilan dan bisa dibuktikan di kampungnya. Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan orang Minang yang memiliki motto Pergilah, jadilah orang ternama, jangan di kotamu. Tapi di Tegal tidak. Sekaya apapun, sejauh apapun merantau, mereka akan berkeinginan pulang kampung.

Maka, senada dengan hal itu, salah satu founder kaos Galgil Ahmad Zaki menyatakan, embrio munculnya kaos tersebut memang bermula dari pencarian identitas kedaerahan yang selama ini kurang dimiliki oleh masyarakat Tegal, khususnya yang berada di luar kota.

Kaos Galgil lahir dari sebuah forum diskusi semacam Kaskus yang bernama Tegal Cyber Community (TCC) yang dikelola oleh sejumlah orang.
Meski mengadopsi konsep Joger dan Dagadu, Zaki menegaskan, bahwa kaos Galgil memiliki diferensiasi atau perbedaan yang mencolok terutama dalam latar belakang dan karakteristik kedaerahan.

Jika Bali dan Jogja sebagai tempat lahir Joger dan Dagadu merupakan daerah dengan latar belakang pariwisata, maka Tegal sebagai tanah kelahiran kaos Galgil memiliki keunikan tersendiri. “Tegal tidak didukung dengan infrastruktur pariwisata seperti Bali dan Jogja. Tapi Tegal merupakan daerah kaum urban. Sebagian masyarakat Tegal bekerja dan menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan ke luar negeri,“ terangnya.

Beragam Tema Mendasari latar belakang itu, kaos Galgil mengeluarkan produk pertama yang bertema "Aja Klalen, Back to Tegal". Tema itu, menurut para foundernya, terilhami dari fenomena banyaknya orang Tegal di perantauan yang selalu kangen dan mudik ke kampung halaman.

Demikian juga dengan kaos Jakwir Cetem. Pencetus ide kaos tersebut, M Ersal Aburizal pun mengangkat tema serupa. Lewat wangsalan "Lemah lempung pinggir sawah, balik kampung atine bungah", seolah menasbihkan bahwa merindukan Tegal adalah takdir bagi orang Tegal yang merantau.

Jakwir Cetem menjelaskan, kaos bertema pulang kampung dan cinta Tegal bukan merupakan chauvinisme atau semacamnya. Tema itu dimaksudkan agar setiap putra daerah Tegal mencintai dan berkeinginan mengembangkan kotanya sehingga dapat selalu tampil di kancah pembangunan.

Selama ini, banyak orang Tegal yang malu dan kurang bangga dengan daerahnya sendiri. Pada intinya, kami ingin mengampanyekan budaya Tegal kepada masyarakat luas melalui kaos, tambah Zaki.

Selain kembali ke kampung halaman, beragam tema juga diusung oleh para tim kreatif masing-masing. Di antaranya yaitu tentang tradisi, kuliner, objek wisata, dan tempat-tempat bersejarah di Tegal.

Pada beberapa keluarannya, Galgil dan Jakwir Cetem juga menyoroti persoalan-persoalan kekinian, serta menyelinginya dengan pesan moral. Seperti saat menyikapi penangkapan teroris di Karanganyar Kecamatan Dukuhturi, Galgil mengeluarkan kaos bertema "Sung Nyong Dudu Teroris" (sumpah, saya bukan teroris-red).

Adapun saat harga sembako melonjak, Jakwir Cetem mencetuskan kaos bertuliskan "Rega padha Mundhak, sing Mlorod, mung Kathok" (harga pada naik, yang turun cuma celana-red). Konsep lainnya, diantaranya tentang wejangan-wejangan hidup berbahasa Tegal yang cukup mengena, seperti "Dadi Wong Sugih Aja Nggo Kadiran" dan "Jare Wong Tua Urip Aja Onggrongan" karya Jakwir Cetem, serta "Aja Isin Dadi Wong Tegal" dan "Biar Ngapak asal Kompak" oleh kaos Galgil.

Untuk pemasaran produk, selain menggunakan cara konvensional yakni membuka outlet Jakwir Cetem di Jalan Raya Karanganyar Dukuhturi, dan Galgil di Jl Raya Pesayangan Talang, keduanya juga aktif berpromosi melalui akun facebook dan website.
Read MoreKaos Galgil

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...