Sebagian
besar orang mungkin sudah mengenal kaos Joger Bali dan Dagadu Djokdja.
Dengan ciri khasnya masing-masing, keberadaan merek-merek tersebut
ibarat sudah menjadi identitas bagi daerah masing-masing.
Di Tegal,
sejak beberapa tahun terakhir bermunculan produk serupa, yakni kaos
Tegalan. Misalnya merek "Umbrus" milik H Tambari, "Jakwir Cetem" milik
kakak beradik Erdiansyah Zulyadaini dan M Ersal Aburizal, serta "Galgil"
yang lahir dari rembugan sejumlah orang.
Dalam bahasa Indonesia,
Umbrus berarti asal berbicara, Jakwir Cetem artinya sahabat karib, dan
Galgil hampir mirip dengan pemberani plus sedikit nekat. Umbrus, Jakwir
Cetem, dan Galgil, adalah kosakata yang sangat familiar bagi masyarakat
Tegal. Tiga kosakata itu bisa dibilang, Tegale por! (Tegal sekali-Red).
Dibalik
namanya, kaos Tegalan ternyata bukan hanya sekadar urusan bisnis untung
rugi, tapi juga mengandung unsur kampanye budaya Tegal. Itu karena,
Tegal dinilai mempunyai karakter yang unik dan berbeda dengan daerah
lain.
Penulis terbaik pada kompetisi “Mimpi tentang Tegal“ yang
diadakan IDEA Bappeda Kabupaten Tegal dalam rangka HUT Kabupaten Tegal
ke-410 beberapa waktu lalu, Akhda Afif Rasyidi, mengatakan, Tegal
mempunyai karakteristik yang khas.
Keunikan wong Tegal salah
satunya adalah merupakan kaum urban. Mereka yang telah menjadi perantau,
dan bahkan pekerja di luar negeri, akan merasakan bahwa Tegal memiliki
warna yang sangat berbeda dengan kota lain.
Berbagai warna yang
ada di Tegal, dari sisi positif maupun negatifnya, menunjukkan estetika
meskipun terkesan subjektif. Hal itu karena semua orang sebenarnya
memiliki karakter psikologis dan mental yang berbeda-beda secara
genekologis hingga ke struktur masyarakat, ujar lulusan UI 2008
tersebut.
Lebih lanjut, Afif yang kini bekerja sebagai staf di
Kementrian Kominfo RI tersebut, menjelaskan, kenapa Tegal dinilai
sebagai daerah yang ngangeni lan mbetahi? Jawabannya adalah karena warga
Tegal merupakan pelaku migrasi yang sangat luwes.
Meski sukses
di negeri orang, mereka akan kangen dengan kampung halaman. Ada semacam
kepercayaan pada masyarakat Tegal bahwa merantau adalah salah satu kunci
keberhasilan dan bisa dibuktikan di kampungnya. Menurutnya, hal
tersebut berbeda dengan orang Minang yang memiliki motto Pergilah,
jadilah orang ternama, jangan di kotamu. Tapi di Tegal tidak. Sekaya
apapun, sejauh apapun merantau, mereka akan berkeinginan pulang kampung.
Maka,
senada dengan hal itu, salah satu founder kaos Galgil Ahmad Zaki
menyatakan, embrio munculnya kaos tersebut memang bermula dari pencarian
identitas kedaerahan yang selama ini kurang dimiliki oleh masyarakat
Tegal, khususnya yang berada di luar kota.
Kaos Galgil lahir dari sebuah forum diskusi semacam Kaskus yang bernama Tegal Cyber Community (TCC) yang dikelola oleh sejumlah orang.
Meski
mengadopsi konsep Joger dan Dagadu, Zaki menegaskan, bahwa kaos Galgil
memiliki diferensiasi atau perbedaan yang mencolok terutama dalam latar
belakang dan karakteristik kedaerahan.
Jika Bali dan Jogja
sebagai tempat lahir Joger dan Dagadu merupakan daerah dengan latar
belakang pariwisata, maka Tegal sebagai tanah kelahiran kaos Galgil
memiliki keunikan tersendiri. “Tegal tidak didukung dengan infrastruktur
pariwisata seperti Bali dan Jogja. Tapi Tegal merupakan daerah kaum
urban. Sebagian masyarakat Tegal bekerja dan menyebar ke berbagai daerah
di Indonesia dan bahkan ke luar negeri,“ terangnya.
Beragam Tema
Mendasari latar belakang itu, kaos Galgil mengeluarkan produk pertama
yang bertema "Aja Klalen, Back to Tegal". Tema itu, menurut para
foundernya, terilhami dari fenomena banyaknya orang Tegal di perantauan
yang selalu kangen dan mudik ke kampung halaman.
Demikian juga
dengan kaos Jakwir Cetem. Pencetus ide kaos tersebut, M Ersal Aburizal
pun mengangkat tema serupa. Lewat wangsalan "Lemah lempung pinggir
sawah, balik kampung atine bungah", seolah menasbihkan bahwa merindukan
Tegal adalah takdir bagi orang Tegal yang merantau.
Jakwir Cetem
menjelaskan, kaos bertema pulang kampung dan cinta Tegal bukan merupakan
chauvinisme atau semacamnya. Tema itu dimaksudkan agar setiap putra
daerah Tegal mencintai dan berkeinginan mengembangkan kotanya sehingga
dapat selalu tampil di kancah pembangunan.
Selama ini, banyak
orang Tegal yang malu dan kurang bangga dengan daerahnya sendiri. Pada
intinya, kami ingin mengampanyekan budaya Tegal kepada masyarakat luas
melalui kaos, tambah Zaki.
Selain kembali ke kampung halaman,
beragam tema juga diusung oleh para tim kreatif masing-masing. Di
antaranya yaitu tentang tradisi, kuliner, objek wisata, dan
tempat-tempat bersejarah di Tegal.
Pada beberapa keluarannya,
Galgil dan Jakwir Cetem juga menyoroti persoalan-persoalan kekinian,
serta menyelinginya dengan pesan moral. Seperti saat menyikapi
penangkapan teroris di Karanganyar Kecamatan Dukuhturi, Galgil
mengeluarkan kaos bertema "Sung Nyong Dudu Teroris" (sumpah, saya bukan
teroris-red).
Adapun saat harga sembako melonjak, Jakwir Cetem
mencetuskan kaos bertuliskan "Rega padha Mundhak, sing Mlorod, mung
Kathok" (harga pada naik, yang turun cuma celana-red). Konsep lainnya,
diantaranya tentang wejangan-wejangan hidup berbahasa Tegal yang cukup
mengena, seperti "Dadi Wong Sugih Aja Nggo Kadiran" dan "Jare Wong Tua
Urip Aja Onggrongan" karya Jakwir Cetem, serta "Aja Isin Dadi Wong
Tegal" dan "Biar Ngapak asal Kompak" oleh kaos Galgil.
Untuk
pemasaran produk, selain menggunakan cara konvensional yakni membuka
outlet Jakwir Cetem di Jalan Raya Karanganyar Dukuhturi, dan Galgil di
Jl Raya Pesayangan Talang, keduanya juga aktif berpromosi melalui akun
facebook dan website.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment